Rabu, 25 Januari 2012

ANTARA BAPAK DAN SUNNAH

Ambisi sang ayah untuk dapat menggantikannya menjadi seorang kyai membuat Dhofir semakin didoktrin berbagai peribadatan dan dituntut menguasai kitab-kitab klasik.
Sejak kecil kental dengan nuansa Islam tradisional. Maklum dirinya adalah putra seorang kyai dan petinggi salah satu ormas Islam di Desa Pasir Kecamatan Mijen Kabupaten Demak yang disegani dan dihormati. Karena itu tidaklah heran jika Mohammad Dhofir sejak kecil sudah digembleng ajaran berpaham Islam tradisional yang kolot dan fanatik. Ambisi sang ayah untuk dapat menggantikannya menjadi seorang kyai membuat Dhofir semakin didoktrin berbagai peribadatan dan dituntut menguasai kitab-kitab klasik. Hal ini terlihat setiap kali datang hari-hari besar Islam atau acara-acara tertentu, Dhofir selalu duduk di antara para kyai atau menjadi orang penting (panitia utama).
“Dulu setiap kali datang Maulid Nabi, khotmil Qur'an dan lain-lainnya saya berusaha bagaimana acara ini bisa meriah semeriah mungkin. Misalnya dengan mendatangkan grup-grup kasidah yang terkenal dari Demak atau Jepara. Belum lagi kalau pas Ramadhan atau kegiatan-kegiatan lain, bapak selalu berusaha agar saya tampil di depan. ” Ungkap lelaki yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren al-Mu'ayat Surakarta ini.
Namun nasib berkata lain, ketika dirinya melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di UNS Surakarta, tepatnya setelah ia bergaul dengan teman-temannya yang sebagian besar sering mengikuti kajian MTA. Pemahaman yang dulu fanatik pada tradisional pelan-pelan tergerus. Dhofir sendiri sedikit demi sedikit berubah hingga akhirnya ia benar-benar meninggalkan budaya yang ia lakukan sejak kecil tanpa sepengetahuan orang tua di kampung.
Ujian Pertama
Ternyata apa yang dilakukan Dhofir tidaklah semulus yang ia bayangkan. Cobaan awal terjadi ketika ia pulang ke kampung halaman, tepatnya pada saat liburan Hari Besar MauludNabi pada tahun 2006 lalu.
“Pada saat malam khataman Maulud di masjid dirayakan besar-besaran, bahkan kyainya didatangkan dari Semarang langsung dengan pembacaan barzanzi oleh habib terkenal dari Solo. Saya disuruh ikut ke atas panggung oleh bapak. Awalnya saya menolak dengan pelan dan sopan. Bapak mendesak, saya pun akhirnya mengungkapkan bahwa semua itu sudah saya tinggalkan. Kontan bapak marah besar. Saya dipaksa pokoknya kalau batinnya menolak dzohirnya saja harus mau demi bapak. Karena kalau saya tidak tampil bapak malu dan kecewa punya putra yang diandalkan kok ternyata begitu tetapi saya tetap menolak mas.” Pertengkaran antara bapak dan anakpun tak bisa terelakkan lagi. Sehabis magrib Dhofir dimarahi habis-habisan.
“Bapak marah besar sampai orang-orang pada melihatku. Puncak kemarahan bapak ketika dia mengatakan ilang-ilangan ndog siji (rela kehilangan telursatu yatu dirinya-red). Saya pun berusaha menenangkan diri dan meminta maaf kepada bapak bukan karena menolak ikut barzanzi itu. Tangan bapak saya pegang saya disampluk. Saya berusaha memegangi kaki bapak tapi dia tetap menolak. Akhirnya apa boleh buat, saya pun masuk kamar dengan pikiran yang nggak karuan waktu itu.”
“Sejak itu bapak sudah nggak mau lagi berbicara ataupun bertatapan dengan saya hingga beliau jatuh sakit karena saya. meskipun orang-orang terutama keluarga pada menghujat yang katanya semua itu gara-gara saya. Tapi saya tetap berusaha birul walidain, hormat dan berbakti terhadap bapak hingga dipundut (meninggal-red). Bagi saya memang itulah yang harus saya jalankan mas. Terserah, orang-orang mau berkata apa padaku tapi saya berusaha kuat untuk meninggalkan kebiaaan-kebiasaanku sejak kecil, termasuk pada saat menggelar acara tahlilan selama 7 hari di rumahku.

Tidak ada komentar: