Rabu, 25 Januari 2012

JANGAN MENCAMPURADUKKAN AGAMA

Ketika dakwah Islam masuk ke tanah Jawa, Sunan Ampel, Bonang, Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni (aqidah maupun ibadah) dan menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mengkolaborasikan sisa ajaran Hindu dan Budha (sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan)di dalam menyampaikan ajaran Islam, yang sampai sekarang masih dijumpai di masyarakat.
Dakwah Nabi Salallahu 'Alaihi Wassalam 14 abad lalu dilakukan terlebih dahulu dengan membangun pondasi akidah selama 13 tahun secara qat'i di tengah-tengah kaum paganis (penyembah berhala) di kota Mekkah. Hal ini agar masyarakat mengerti betul tentang ketauhidan, hanya menyembah satu ilah yaitu Allah Ta'ala, dan ilah-ilah yang mereka sembah sebelumnya adalah bentuk-bentuk dari kebatilan. Setelah itu barulah Beliau mengajarkan syariat-syariat lain, seperti perintah sholat, puasa, zakat, haji serta bagaimana cara bermuamalah. Dengan cara ini Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam memperoleh keberhasilan dalam dakwahnya, sementara Islam mencapai kejayaan hingga menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Berbeda dengan masuknya Islam di tanah air (Indonesia) yang sama-sama di tengah kaum paganis (penganut Hindu, Budha dan kepercayaan animisme dinamisme).
“Dakwah yang dilakukan para ulama kita yang sering disebut walisongo tidak membersihkan pondasi Hindu yang menjadi mayoritas agama masyarakat saat itu. Mereka langsung mendirikan bangunan Islam, tembok, jendela, atap, catnya Islam tapi Hindunya tetap kelihatan. Salah satunya adalah selamatan pada hari ke 7, 40, 100, 100 itu berasal dari kitab Samaweda hal 373 ayat 1. Bunyinya pradiatmahi bibisari krigiagnawibseba ra arang gayamaya jimi prabaseba dwininara yang artinya antarkanlah persembahanmu itu, antarkanlah selamatanmu itu kepada leluhurmu di saat hari pertama, ke 7, 40, 100 mendak pisan mendak pindo dan 1000 hari,” ujar Ida Bagus Erit Budai Winarno, mantan pendeta Hindu yang kini memeluk Islam dengan nama Abdul Aziz.

Langkah Keliru Wali Abangan
Salah satu buku karangan H Makhrus Ali yang mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden Belanda, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan : “Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo tulisan H Lawrens pada halaman 41, 64 juga mengupas perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan), dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan) mengenai budaya dan adat istiadat. Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, sesaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Namun Sunan Ampel menentang : “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid'ah dan syirik?”. Sunan Kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya.
Akhirnya apa yang dikhawatirkan ulama putihan tersebut menjadi kenyataan. Kondisi umat Islam sangat memprihatinkan. Ajaran syar'i ternoda oleh gado-gado warisan wali abangan, di mana perkara yang sunnah dimatikan dan perkara bid'ah dan syirik tetap dihidupkan.
Allah Ta'ala telah memperingatkan sebagaimanadalam firman-Nya yang berbunyi :
“ Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS al An'am 82).
“Selain bentuk-bentuk tasayabuh, ini adalah kesalahan besar yang sangat membahayakan akidah.Di samping itu ritual selamatan kematian banyak mengandung tipuan. Misalnya orang yang tidak beribadah, tapi dengan digelarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan diampuni dosa-dosanya. Karena itu Imam Syafi'i menentang al-ma'tam, yaitu kumpul-kumpul di tempat keluarga mayat lalu makan-makan.” Ungkap ustadz Umar Abu Ubaidillah Lc di sela-sela kajian salafinya
Bila Agama Meligitimasi Budaya Kafir
Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Ibaratnya tauhid adalah susu murni, dan non tauhid adalah nila, meskipun sebanyak sebelanga susu murni namun cukup dengan nila setitik saja rusaklah susu sebanyak sebelanga itu. Begitulah sifat agama tauhid ini, dan begitulah sifat agama fitrah.
Bagaimanapun juga islam adalah agama fitrah, islam adalah agama suci, dan islam tidak bisa dicampur adukkan dengan kesyirikan atau kekufuran, karena islam bersumber dari tauhid, sedangkan kesyirikan dan kekufuran bersumber dari non tauhid. Ibaratnya tauhid adalah susu murni, dan non tauhid adalah nila, meskipun sebanyak sebelanga susu murni namun cukup dengan nila setitik saja rusaklah susu sebanyak sebelanga itu. Begitulah sifat agama tauhid ini, dan begitulah sifat agama fitrah. Ironisnya kaum mislimin banyak yang tidak memahami nafas agama suci ini yang tidak bisa menerima pencampuran, kaum muslimin justru mencampur adukkan kedalam agama fitrah ini nila-nila kesyirikan dan kekufuran berupa budaya-budaya yang bersumber dari kesyirikan dan kekufuran. Mereka tidak memahami bahwa islam itu butuh kafah, islam butuh totalitas, dan islam tidak bisa menerima pencampuran. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2 : 208)

Setiap muslim yang kurang percaya diri dan menjadikan budaya non muslim atau syirik masuk dalam ritualisasi agamanya, maka pada dasarnya ia beragama dengan tidak kafah, karena masih mencampur adukkan agamanya dengan sesuatu diluar islam. Dan barang siapa masih berbuat demikian berarti ia telah mengikuti langkah-langkah setan yang menghendaki manusia, terutama umat islam, tidak kafah dalam beragama.
Sayang, karena kelalaian dan kesembronoan serta penyimpangan sebagian orang yang dianggap tokoh agama, ulama, kyai, ustad, habib, syaikh, dan sebagainya, menjadikan budaya kafir makin diminati dan makin membudaya ditengah-tengah masyarakat. Umat islam lupa bahwa Nabi saw. telah memberi peringatan tentang ulama akhir zaman yang disebut-sebut sebagai manusia paling buruk, karena dari mulut mereka keluar fitnah, yaitu ajara yang melegitimasi kesyirikan dan kekufuran.

“Dari Ali bin Abi Thalib ra. berkata : “Rasululloh saw. bersabda : “Akan datang pada manusia suatu zaman dimana para ulama adalah seburuk-buruk mahluk di kolong langit, (karena) dari mereka (para ulama itu) keluarlah fitnah, dan fitnah itu akan kembali kepada mereka (baik umat maupun ulama itu sendiri).” (Baihaqi)
Berbagai Budaya Yang Diadopsi Dari Budaya Syirik
Tidak sedikit peribadatan umat islam di Indonesia yang mengadopsi budaya syirik dan kufur, ironisnya dengan sentuhan seorang oknum islam menjadilah budaya syirik dan kufur itu menjadi 'seolah-olah' budaya islam, apalagi dibumbui dengan predikat ajaran wali dan sebagainya yang masih banyak tanda tanya, maka menjadilah masyarakat muslim terjerumus kedalam pengamalan budaya orang-orang syirik dan kufur, tanpa mereka sadari, bahkan mereka banggai.
a. Tumpengan.
Salah satu acara atau budaya umat islam yang banyak dilakukan adalah tumpengan, ketika ada acara apapun biasanya mereka tidak melepaskan diri dari tumpengan. Sungguh tidak bisa dipahami apa maksud dari budaya ini, tetapi yang jelas tumpengan adalah budaya yang dilakukan oleh orang syirik dan jelas-jelas untuk kesyirikan. Sebagaimana diketahui tumpeng merupakan budaya hindu, bukan budaya Islam, tumpeng merupakan simbolisasi dari tri murti, dewa-dewa orang hindu. Tumpeng juga simbolisasi tempat bersemayam Dewa-Dewa Hindu. (dumarcay 1986, 89 91)

b. Nglarung.
Prosesi nglarung sungguh masih banyak kita jumpai pada masyarakat muslim terutama yang tinggal di daerah pesisir, tujuannya tak lain dan tak bukan adalah memohon keselamatan, kesejahteraan, rasa syukur, dan sebagainya. Kepada siapa tujuannya ? Kepada Alloh dan kepada danyang atau penunggu, atau ruh yang menguasai. Mereka beranggapan dan berkeyakinan jika tidak melakukan itu maka (bukannya Alloh yang marah tetapi) ruh, danyang, sang penunggu dan jin-jin itu akan marah dan tidak memberi perlindungan.
Acara ini biasanya dipimpin oleh tokoh agama islam atau ulama setempat, yang disertai dengan pembacaan doa dan lain-lain. Padahal nglarung jelas-jelas merupakan budaya milik umat hindu, islam tidak pernah ada hal demikian. Tujuannya pun juga sama untuk memohon keselamatan kepada dewa-dewa mereka yang mana jika tidak dilakukan dewa akan marah dan tidak melindungi.

c. Slametan/kenduri.
Kenduri berasal dari bahasa asli Genduri, yaitu suatu upacara yang berasal dari agama hindu (islam tidak mengenal kenduri), suatu upacara yang ditujukan kepada para dewa untuk menjauhkan dari kesialan, mendapatkan pertolongan, perdamaian, kemulyaan, keberhasilan, dan sebagainya. Caranya dengan mengadakan sesaji atau persembahan berupa makanan, ingkung, dan sebagainya. Orang hindu meyakini dengan diadakan kenduri maka mereka akan dijauhkan dari kesialan, mendapatkan pertolongan, perdamaian, kemulyaan, keberhasilan, dan sebagainya. Dan jika tidak melakukan itu maka akan terjadi kesialan, peperangan, kegagalan, dan sebagainya.
Sekarang mari kita bandingkan dengan masyarakat muslim yang melakukan kenduri, kenapa mereka melakukannya ? Jawabnya sama tujuannya. Ketika ditanya bagaimana jika tidak melakukan ? Jawabnya tentu takut terjadi hal-hal yang buruk. Tidakkah sama dengan mereka (orang hindu) tujuannya ? (kitab Siwa Sasana, bab Panca Maha Yatnya, kitab Sama Weda hal. 373)

d. Upacara kematian.
Belum lagi acara-acara diseputar kematian, seperti 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Ngijing, brobosan, payung kematian, pisau diatas mayit, berbagai macam kembang untuk hiasan mayit dan ditaburkan, sebar uang receh, memotong kelapa, peti mati, dan semua hal seputar kematian yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat muslim itu sesungguhnya merupakan budaya hindu, budaya orang syirik dan kafir. Namun sungguh ironis, dengan sentuhan doa, bacaan, dan logika-logika yang amburadul dari para tokoh agama, menjadilah semua itu terkesan islami. (kitab Weda Smerti, hal. 99)

e. Upacara perkawinan
Bahkan dalam setiap upacara perkawinan yang digelar oleh sebagian besar masyarakat muslim di negeri ini tidak lepas dari ritual dan budaya orang kafir dan syirik, ritual, budaya dan peribadatan hindu. Sebut saja mencari hari baik untuk nikah, Penjor, Kembar mayang, injak telur, kembulan, dan masih banyak lagi upacara dan tatacara pernikahan yang semuanya berasal dari budaya dan keyakinan kafir dan syirik. (kitab Yajur Veda dan Bhagavad Gita)




f. Upacara kelahiran
Demikian pula berbagai macam upacara seputar kelahiran, seperti mitoni, tingkeban, telonan, upacara ari-ari, dan sebagainya, tidak terlepas dari keyakinan dan budaya agama hindu yang jelas-jelas kesyirikannya. Namun karena dikemas dengan tambahan doa dan bacaan Qur'an sehingga terkesan sudah islami, padahal islam tidak pernah mengajarkan seperti itu, bagaimana bisa dianggap islami ? (kitab Upadesa, Ida Bagus Oka Punia Atmaja)
Benarkah Diperbolehkan Mengadopsi Budaya Kafir/Syirik ?

Seharusnya umat islam malu dan tobat diri, betapa tanpa permisi telah menjiplak dan mencuri budaya kafir dan syirik serta diaku dari islam, diaku sebagai budaya islam karena diajarkan oleh para wali, padahal teks sejarah dan keilmiahan yang terkandung dalam sejarah itu masih simpang siur karena minimnya data-data ilmiah. Dan yang lebih penting dari itu, semua budaya, ritual dan peribadatan diatas adalah bukan milik islam, tidak diajarkan oleh islam.
Lalu bisakah berubah menjadi islam dengan dibumbui islam ? Jawabnya tegas, tidak bisa !! Nabi saw. tidak pernah mau kompromi sedikitpun terhadap budaya kafir dan syirik. Bahkan nebeng tempat kesyirikan saja oleh Nabi dilarang apalagi sampai melakukan dan mengadopsi budayanya, tentu makin dilarang.
“Dari Tsabit bin Dhahhak ra. berkata : “Pada masa Rasulullah saw. ada seorang bernadzar hendak menyembelih unta di Buwanah (nama sebuah tempat), lalu ia menemui Rasulullah saw. dan menanyakan hal itu. Lalu Beliau saw. bertanya : "Apakah di situ pernah ada berhala yang disembah?”. Ia menjawab : “Tidak.” Beliau bertanya lagi : “Apakah di situ pernah dirayakan hari raya mereka? (orang musyrik).” Ia menjawab : “Tidak.” Beliau bersabda: "Penuhilah nadzarmu, sesungguhnya nadzar itu tidak boleh dilaksanakan bila ia mendurhakai Allah, memutuskan tali persaudaraan, dan nadzar pada suatu benda yang tidak dimiliki oleh manusia.” (Abu Dawud)

Lihatlah ketegasan Nabi dalam soal penyembahan dan budaya orang syirik, Nabi benar-benar melarang dan memutus hubungan dengan penyembahan dan budaya orang syirik. Bahkan Nabi menyatakan beribadah ditempat yang pernah dijadikan sebagai perayaan budaya orang syirik saja dianggap sebagai mendurhakai Alloh. Kenapa Nabi tidak membolehkan saja toh pasti sahabat tadi dalam melakukan penyembelihan memakai tatacara islam ? Karena ternyata legitimasi islam dalam peribadatan dan budaya syirik itu tidak ada.


Barang siapa meniru ia akan menjadi
Rasul saw. telah bersabda dalam hadis sahih :
"Barang siapa yang tasyabbuh (menyerupai) pada suatu kaum maka ia (akan menjadi) termasuk kaum tersebut.” (Abu Dawud)
Al-Qari rahimahullah berkata dalam mengomentari hadis diatas : "Siapa yang menyerupai orang-orang kafir (atau orang musyrik) semisal dalam berpakaian (dalam budaya) dan selainnya. Atau ia menyerupai orang-orang fasik, atau orang-orang fajir (jahat) atau dengan pengikut tashawwuf (maka ia termasuk seperti mereka) atau menyerupai orang-orang yang berbuat kebaikan (maka iapun juga termasuk orang yang berbuat kebaikan). (Barang siapa meniru pasti akan menjadi) yakni dalam dosa ataupun dalam kebaikan." ('Aunul Ma'bud, 11/51)

Tidak ada komentar: